"Surat Panjang dari Masa Lalu"
(Pramoedya & Anak Muda)
Oleh: Mario Capestrano Gesiradja
(Tokoh berdiri diam. Pandangan lurus ke depan, seperti mendengar suara yang datang dari jauh. Perlahan, suara menjadi berat dan dalam—suara Pramoedya.)
Babak 1 – Pesan dari Masa Lalu
Pramoedya (intonasi rendah, berat, penuh jeda):
Nak…
kau hidup di zaman yang serba cepat. (jeda)
Informasi berlari lebih kencang dari akal sehat.
Segala kabar datang tanpa diminta,
tapi aku bertanya—
apakah kau masih sempat berpikir sebelum percaya?
(Langkah maju pelan, tatapan tajam ke penonton.)
Di zaman kami, kata adalah peluru.
Satu kalimat bisa mengantar ke penjara.
Satu buku bisa membuatmu dibuang jauh dari tanah kelahiran.
Aku menulis bukan untuk dikenang,
tapi untuk mengingatkan:
sejarah bangsa ini terlalu mahal
untuk dibeli dengan kebodohan dan ketidakpedulian.
Dan aku percaya Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.
Babak 2 – Gugatan Anak Muda
(Nada berubah—lebih cepat, lebih ringan, tapi ada keresahan. Kepala sedikit menunduk lalu mendongak. Ini suara Anak Muda.)
Anak Muda:
Pak Pram… zaman saya beda.
Sekarang orang bebas ngomong—di jalan, di media sosial.
Tapi justru kebebasan itu yang bikin bingung.
Terlalu banyak suara, sampai kadang kita nggak tahu
mana yang benar, mana yang cuma bikin gaduh.
(Berjalan beberapa langkah ke kanan panggung, menatap lantai lalu menatap penonton.)
Bapak bilang dulu menulis itu berisiko.
Sekarang? Menulis gampang, tinggal ketik di ponsel.
Tapi orang baca cepat…
lupa lebih cepat.
Kadang saya tanya pada diri sendiri—
perjuangan dulu… masih relevan nggak
di zaman kita yang sibuk cari like dan followers?
Pramoedya (sedikit meninggi, nada tegas tapi tetap tenang):
Relevan, Nak.
Justru di zamanmu ini, perjuangan itu berganti rupa.
Dulu kami mengangkat senjata,
sekarang kau mengangkat pikiran.
Dulu kami melawan penjajah yang jelas wujudnya,
sekarang kau melawan penjajahan yang merayap diam-diam:
kebodohan yang disengaja,
kemiskinan yang diwariskan,
dan ketidakpedulian yang dianggap wajar.
(menatap tajam ke penonton, nada sindiran halus):
Dan hati-hatilah, Nak…
kadang yang menindas bukan asing yang datang dari jauh,
tapi pemimpin yang lahir dari rahim negeri ini sendiri.
Mereka tersenyum di layar televisi,
tapi diam-diam membuat rakyat lapar.
(Musik latar sedikit naik volumenya, menambah ketegangan.)
Babak 3 – Kejujuran & Jawaban
Anak Muda (nada menekan, sedikit marah tapi menahan):
Tapi, Pak…
kami juga lelah.
Setiap hari berita korupsi.
Harga naik, kerja susah.
Kami diminta cinta negeri,
tapi negeri kadang terasa nggak cinta sama kami.
(Langkah mundur pelan, menunduk sebentar, lalu menatap lagi.)
Bapak dulu berjuang demi “Indonesia merdeka”.
Tapi di kampung saya, ada anak yang putus sekolah karena harus kerja.
Di kota, ada anak yang pintar tapi tak sanggup bayar kuliah.
Ada ibu-ibu yang menangis karena harga beras naik,
sementara di gedung megah sana
para wakil rakyat sibuk memperdebatkan kursi, bukan nasib kami.
Apakah ini kemerdekaan yang Bapak bayangkan?
Pramoedya (suara melembut, tapi penuh luka):
Nak… cinta pada negeri bukan cinta buta.
Ia adalah cinta yang berani menggugat,
berani berkata tidak,
berani menolak ketika kebenaran dipermainkan.
(Tegakkan badan, tatap jauh seolah melihat masa lalu.)
Aku pun pernah diasingkan oleh negeriku sendiri,
bukan oleh penjajah asing.
Tapi aku tetap menulis.
Karena bagiku, kemerdekaan adalah kewajiban,
bukan hadiah.
Pramoedya (menatap Anak Muda, nada lebih lembut tapi tajam):
Nak… perjuangan itu tidak hanya ada di buku sejarah.
Ia menyelinap di meja makan ketika ibu menghitung uang belanja,
di sawah ketika ayah menatap langit mencari hujan,
di kelas ketika guru mengajar tanpa papan tulis layak.
Kalau kau mau melihat wajah perjuangan,
jangan hanya cari di patung atau museum—
lihatlah di sekitarmu.
[Momen Emosional – Membuat Penonton Menangis]
Anak Muda (suara bergetar, menahan air mata):
Pak…
kemarin saya pulang kampung.
Saya lihat ayah saya, yang dulu berdiri gagah di sawah,
kini jalannya tertatih karena terlalu lama memikul beban.
Saya lihat ibu saya, yang dulu tertawa lepas,
kini matanya sembab karena menghitung uang belanja yang tak pernah cukup.
Mereka tak pernah minta dihormati,
tak pernah minta diliput televisi.
Yang mereka mau cuma satu:
anak-anak mereka jangan hidup lebih susah dari mereka.
(Diam sejenak. Mata berkaca-kaca, suara pecah.)
Tapi saya takut, Pak…
takut saya gagal mewujudkan itu.
Setiap saat saya membayangkan wajah mereka jikalau saya gagal pak.
saya membayangkan wajah keriput ayah yang menahan tangisnya.
saya membayangkan senyum ibu yang luntur disertai air mata.
Pramoedya (menatap penuh iba, mendekat, menepuk bahu Anak Muda):
Nak… kegagalan bukan berarti kau berhenti.
Yang membuat bangsa runtuh bukan karena orang kalah,
tapi karena orang berhenti mencoba.
Kalau kau jatuh, bangunlah.
Kalau kau kalah, belajar lagi.
Sejarah tidak hanya milik pemenang,
tapi milik mereka yang tidak menyerah.
Nak…
kalau engkau takut,
itu tandanya engkau masih punya hati.
Dan hati itulah yang akan membuatmu terus berjuang,
meski dunia ini seperti tak memihak.
Ingatlha nak, kamu masih muda.
Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?
Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.
Anak Muda (lebih pelan, seperti bertanya sungguh-sungguh):
Kalau begitu, Pak…
apa yang harus kami lakukan?
Kami bukan pahlawan.
Kami cuma anak-anak biasa,
yang hidup di zaman serba online,
di tengah pekerjaan yang kadang hanya untuk bertahan hidup.
Pramoedya (tegas, berapi-api tapi tetap terukur):
Jadilah pahlawan di lingkaranmu sendiri.
Kalau kau pelajar, belajarlah dengan sungguh, meski buku-bukumu usang dan tak ada yang memuji.
Kalau kau guru, ajarlah dengan hati, meski gaji kecil dan fasilitas seadanya.
Kalau kau petani, tanamlah dengan bangga, meski harga jatuh.
Kalau kau penulis, tulislah yang membuat orang berpikir,
meski tak banyak yang membaca.
Kemerdekaan itu bukan soal siapa paling besar,
tapi siapa paling setia pada kebaikan,
meski dalam hal kecil.
Anak Muda (mengangguk, nada getir tapi mantap):
Pak… kalau saya lihat,
perjuangan zaman sekarang bukan lagi sekadar melawan penjajah berseragam.
Musuh kami kadang duduk di kursi empuk,
tersenyum manis di spanduk kampanye,
tapi diam-diam mencuri masa depan kami lewat kebijakan yang mereka buat sendiri.
Kami lihat gedung-gedung pemerintahan semakin megah,
tapi sekolah di desa roboh dibiarkan.
Kami dengar pidato tentang kesejahteraan,
tapi di rumah kami, ibu masih harus memilih
antara membeli beras atau membayar listrik.
Kadang, Pak… yang kami lawan bukan hanya orang-orang itu,
tapi rasa putus asa yang perlahan merayap di hati—
rasa takut bahwa semua ini akan tetap sama,
meski kami sudah berteriak sekuat tenaga.
Pramoedya (suara menurun, lalu perlahan meninggi ke klimaks):
Itulah sebabnya, Nak…
kemerdekaan itu tak pernah selesai.
Ia bukan pesta setahun sekali,
bukan lomba makan kerupuk dan tarik tambang semata.
Ia adalah napas yang harus terus dijaga—
agar tetap hidup di dada setiap anak bangsa.
(Langkah maju ke tengah panggung, suara meninggi untuk penutup.)
Dan ingat…
selama masih ada satu anak yang lapar,
satu pikiran yang dipenjara,
satu suara yang dibungkam—
kita semua belum benar-benar merdeka!
Bersuaralah.
Bekerjalah.
Berjuanglah.
Karena merdeka itu bukan hanya hak,
tapi juga tanggung jawab!
(lebih tenang, menatap penonton satu per satu):
Dan ingat… setiap langkah kecil yang kau ambil untuk kebaikan,
meski tak terlihat hari ini,
adalah batu yang membangun jalan untuk masa depan.
Jangan tunggu semuanya berubah—
mulailah dari dirimu, dari rumahmu, dari kotamu.
Itulah cara kita menjaga agar kemerdekaan ini
tetap bernyawa untuk generasi yang akan datang.

0 Komentar